POLITIK AKAL SEHAT DAN POLITIK UANG
DEMOKRASI SEHAT DENGAN POLITIK AKAL SEHAT TANPA POLITIK UANG
Ulul Asmy Pauranan Ketua Divisi Organisasi & Kaderisasi DPD PPNI Kota Palopo
Banyak dari kita, baik itu
masyarakat, mahasiswa, LSM, politikus dan berbagai kalangan pengamat sudah
cukup risau dengan kesehatan politik yang terjadi di Indonesia, karena
pandangan yang menganggap politik hanya sebagai proses dan cara untuk
mendapatkan kekuasaan. Pada
dasarnya kata politik (Yunani: politikos) berarti dari, untuk, atau yang
berkaitan dengan warga negara. Dan pada beberapa pengertian yang paling umum politik
adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun
nonkonstitusional (Wikipedia).
Untuk tujuan
politik segala cara dilakukan. Tidak sedikit berpolitik menabrak
tradisi, norma, dan aturan hukum. Segala hal dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan politik seperti penggunaan politik uang (money politic), menjual nama
besar orang tua, asal daerah, memanfaatkan bencana, kegiatan olahraga, pentas
budaya, bahkan kemiskinan sekalipun bisa digunakan untuk kepentingan
politik praktis.
Mereka yang berada pada kategori diatas, baik itu politikus, tim
pemenangan maupun masyarakat yang menjadi konstituen tidak mengetahui bahwa
politik selain untuk meraih kekuasaan juga merupakan alat untuk menciptakan
kebermanfaatan, keadilan dan kesejahteraan pada tatanan masyarakat. Hal
tersebut dapat berupa keputusan politik, kebijakan publik, penetapan
peraturan-peraturan, dan instrumen lain yang bermanfaat bagi khalayak. Untuk
mengelola urusan politik, politik berasaskan akal sehat haruslah menjadi
pedoman.
Kita rasanya perlu untuk mengelola
urusan politik dengan pemikiran yang sama, tidak lain adalah kesetaraan dalam
berpikir dengan akal sehat. Politik yang rasional dan logis, mengontrol keadaan
politik dengan ruang pikiran.
Yang dimaksud politik menggunakan
akal sehat adalah politik yang tidak menggadai akal (pikiran) terhadap uang
(politik uang), penggunaan berita hoax, kekeluargaan, kedaerahan dan persamaan
agama (sara), tekanan kekuasaan, iming-iming jabatan, dan hal lain yang
bertolak belakang dengan perjuangan terhadap kepentingan masyarakat. Bagi yang
ingin dipilih (misal calon anggota legislatif) politik akal sehat adalah
politik dengan menjual gagasan yang dapat memperjuangkan hak-hak warganya,
membangun daerahnya dan mengangkat derajat kesejahteraan masyarakatnya. Bagi
pemilih, politik akal sehat merupakan cara berpikir untuk memilih seseorang
yang akan menjadi perwakilannya baik di eksekutif maupun legislatif berdasarkan
kemampuan orang tersebut dalam menyerap aspirasi warganya, gagasan-gagasannya
yang dapat mensejahterakan masyarakatnya, dan kebijakan-kebijakan politiknya
(ketika terpilih) untuk memajukan daerahnya.
Salah satu yang bertentangan
dengan politik akal sehat yang saat ini masih ‘gemar’ dilakukan oleh para
politisi maupun timnya adalah ‘politik uang’ yang artinya politisi maupun
timnya memberikan uang kepada masyarakat (pemilih) agar masyarakat tersebut
memilih si politisi. Hal ini masuk dalam kategori suap yaitu suatu usaha atau tindakan yang dilakukan pihak
tertentu melalui cara-cara yang tidak benar untuk mencapai tujuan-tujuan yang
dianggap lebih menguntungkan atau memudahkan. Suap sifatnya selalu
"menguntungkan" pihak tertentu tetapi merugikan kepentingan orang lain.
Politisi yang
masih menggunakan politik uang mungkin belum bisa mendapat akses terhadap penelitian-penelitian
terkait penggunaan politik uang yang menunjukkan bahwa dari 33 persen pemilih
yang pernah ditawari uang (suap/politik uang) hanya 11 persen yang terpengaruhi
oleh praktik jual beli suara tersebut (Burhanuddin Muhtadi), serta hasil survey
PollMark dari tahun 2012 hingga 2018 mencakup 142 survey dan melibatkan 123
ribu orang yang datanya
menunjukkan bahwa penerimaan uang terjadi oleh pemilih, tapi dampak secara
elektoral terhadap pilihan mereka sangat rendah. Jadi politik
uang relatif marak namun tidak efektif.
Pada dasarnya
politik uang melanggar empat aturan dasar berpolitik yaitu tatanan kehidupan masyarakat, mimbar akademik, agama
dan hukum Negara Indonesia. Dalam segi tatanan kehidupan masyarakat, politik
uang tidak mencerdaskan (membodohi masyarakat) dan akan membuat kehidupan
masyarakat semakin buruk. Hal ini terjadi karena masyarakat memilih seorang
calon pemimpin (termasuk caleg) bukan karena gagasan dan keberpihakannya
terhadap keadilan dan kesejahteraan masyarakat namun karena diberi uang. Hal
tersebut akan menyebabkan masyarakat berpikir tentang NPWP “Nomor Piro, Wani
Piro” sehingga kebijakan politik ‘abal-abal’ dan indikasi koruptif yang akan
lahir.
Politik uang secara tidak langsung menistakan akal pikiran yang telah di "isi" kan kepada kita di sekolah-sekolah maupun di bangku perkuliahan. Seorang politisi yang tidak mampu menjual gagasannya namun lebih memilih mempraktikkan politik uang dalam kontestasi politiknya, maka tidak layak untuk dipilih karena telah menistakan kemampuan intelektual yang menjunjung tinggi "nilai/value" dibanding dengan uang.
Dari agama, Rasulullah SAW juga
pernah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibn
Majah dalam Sunan mereka serta Imam Ahmad dalamMusnad-nya, dari Abdullah ibn Amr,
ia berkata: “Rasulullah SAW melaknat orang yang memberi dan
menerima suap.”Dan juga pada
kitab Injil Keluaran 23:8 mengatakan "Suap janganlah kauterima, sebab suap
membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara
orang-orang yang benar".
Di Indonesia Fatwa serupa juga
telah dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2000 yang lalu,
bahkan dalam fatwa tersebut ditegaskan bahwa segala bentuk suap, uang pelicin,
korupsi berjamaah, dan politik uang hukumnya
adalah haram. Selain melanggar hukum agama, perbuatan seperti ini juga
melanggar hukum Negara yang mempunyai sanksi hukum yang tidak ringan, serta
merusak tatanan kehidupan masyarakat.
Dari hukum Negara, politik uang
melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pada Pasal 187A ayat
(1), Undang-Undang tentang Pilkada diatur, setiap orang yang sengaja memberi
uang atau materi sebagai imbalan untuk memengaruhi pemilih maka orang tersebut
dipidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, plus denda
paling sedikit Rp 200 juta hingga maksimal Rp 1 miliar. Pada Pasal 187A ayat (2), diatur ketentuan
pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan
perbuatan melawan hukum, menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Jika politisi-politisi Indonesia
mau saja mempraktikkan politik akal sehat, menggunakan pikiran-pikirannya untuk
kemajuan bangsa dan tidak dibawa oleh arus emosi atau hasrat untuk memiliki
kekuasaan, melancarkan bisnis, menginginkan nama besar (ingin dipandang), maka
politik akan serupa yang dikatakan oleh Aristoteles yang mengatakan bahwa
politik adalah alat untuk mengonversi berbagai sumber daya untuk menjadi sebuah
kebahagiaan.
Sehingga pada tulisan ini kami
menyimpulkan bahwa mereka (politisi) yang tanpa gagasan dan hanya mengandalkan
uang mereka untuk membeli suara rakyat agar terpilih, setelah menjabat akan
mempraktikkan kebijakan untuk keuntungan dirinya sendiri yang cenderung akan
korup.
Dan jika mereka mempunyai gagasan
namun tetap mempraktikkan politik uang, hal tersebut juga menggambarkan bahwa
mereka tidak layak untuk dipilih karena mereka mempraktikkan hal yang melanggar empat aturan dasar berpolitik yaitu merusak tatanan masyarakat, menistakan mimbar akademik, melanggar aturan
agama dan aturan Negara.
23 Februari 2019
Comments
Post a Comment