DIABETES
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Poliuria
adalah pasase volume urin yang besar dalam periode tertentu. Sedangkan
diabetes adalah adanya berbagai gangguan yang ditandai dengan poliuria
(Dorland, 2002). Diabetes umumnya terbagi menjadi 2, yaitu Diabetes
Insipidus (DI) dan Diabetes Mellitus (DM). Namun, umumnya istilah
diabetes cenderung merujuk pada Diabetes Mellitus. DM merupakan
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, hanya dapat dikendalikan
sedemikian rupa agar penderitanya tetap dalam keadaan sehat secara umum,
tidak mengalami komplikasi tertentu. Karena itu, ilmu penyakit
dalam─khususnya endokrinologi, perlu dikaji lebih dalam agar masyarakat
juga dapat menjadi lebih peka dan tanggap terhadap isu DM. Dalam
laporan ini penulis akan mencoba menganalisis kaitan antara poliuria
dan simptom lainnya berkaitan dengan DI dan DM berdasarkan dasar teori
Endokrinologi.
Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 1:
Wanita
45 tahun, BB 45 kg, TB 156 cm, datang ke poliklinik Penyakit Dalam Sub.
Bagian Endokrinologi dengan keluhan poliuria, kedua kaki terasa
kesemutan (polineuropati), dan mata kabur. Sejak 2 tahun yang lalu
penderita merasakan sering buang air kecil, banyak makan tetapi badan
semakin kurus, dan pernah berobat ke dokter, kemudian didiagnosis DI.
Anak laki-lakinya, 11 tahun, menderita DM dan sekarang menggunakan
insulin. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan. Hasil CT scan
absomen kesimpulan: kalsifikasi pada kelenjar pankreas. Laboratorium
darah: gula darah puasa 256 mg/dl, kolesterol total 250 mg/dl, creatinin
2,0 mg/dl. Urin rutin: protein positif (+++), reduksi (+++).
Oleh
dokter poliklinik penderita diberi obat anti diabetik oral (OAD),
selanjutnya dirujuk ke poliklinik gizi dengan diet DM 1700 kalori,
poliklinik mata,dan poliklinik neurologi. Selain itu penderita
dianjurkan latihan jasmani setiap hari dan kontrol rutin setiap bulan
karena penyakit ini sebagian besar harus menjalani pengobatan selama
hidup.
Hipotesis sementara yang penulis ambil menurut gejala
klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium, pasien dalam kasus
menderita Diabetes Mellitus (DM) tipe 2, yang masalahnya berakar pada
reseptor hormon insulin, hormon yang mengatur kadar glukosa darah.
B. RUMUSAN MASALAH
- Diagnosis apakah yang paling tepat ditentukan untuk kasus?
- Apakah hubungan antara hasil pemeriksaan dengan patogenesis dan patofisiologi DM?
- Bagaimana mekanisme timbulnya poliuria, polineuropati, retinopati, serta penurunan berat badan pada penderita DM?
- Adakah hubungan antara penyakit yang diderita ibu dan anak masing-masing dalam kasus?
- Bagaimanakah penatalaksanaan penderita DM?
C. TUJUAN PENULISAN
- Mengetahui diagnosis yang paling tepat ditentukan untuk kasus.
- Mengetahui hubungan antara hasil pemeriksaan dengan patogenesis dan patofisiologi DM.
- Mengetahui mekanisme timbulnya poliuria, polineuropati, retinopati, serta penurunan berat badan pada penderita DM.
- Mengetahui hubungan antara penyakit yang diderita ibu dan anak masing-masing dalam kasus.
- Mengetahui penatalaksanaan penderita DM.
D. MANFAAT PENULISAN
- Mahasiswa mengetahui dasar teori diagnosis penyakit terkait endokrinologi.
- Mahasiswa mengetahui dasar teori mekanisme kerja organ terkait endokrinologi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Insipidus dan Diabetes Mellitus
Keluhan
dan gejala utama Diabetes Insipidus (DI) adalah poliuria dan
polidipsia. Jumlah cairan yang diminum maupun produksi urin per 24 jam
sangat banyak, mencapai 5-10 liter (Sudoyo et.al., 2006). Diabetes
mellitus (DM) merupakan suatu sindrom dengan terganggunya metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein akibat kurangnya sekresi insulin atau
penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin (Guyton and Hall,
2007). DI dan DM mempunyai simptom yang sama, yaitu poliuria. Poliuria
terdapat dalam berbagai keadaan, walaupun DI merupakan penyebab yang
sering terjadi. Ada 10 diagnosis banding dalam poliuria selain DI,
diantaranya DM tak terkontrol dan penggunaan obat-obat tertentu.
Algoritme poliuria terdiri dari beberapa tahap sebelum mencapai
diagnosis DI. Langkah 1 adalah mengetahui osmolalitas urin. Langkah
selanjutnya apabila nilainya 140 mmol/L, maka didapatkan diagnosis DI.
Namun apabila yang didapat hanya osmolalitas urin
B. Dasar Diagnosis dan Tipe DM
Pemeriksaan
penyaring DM dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM
sebagai berikut : 1) Usia 45 tahun; 2) Berat badan lebih; 3)
Hipertensi; 4) Riwayat DM dalam garis keturunan; 5) Riwayat abortus
berulang, melahirkan bayi cacat atau BB bayi >4000 gram; dan 6)
Kolesterol HDL ≤35 mg/dl dan atau trigliserida ≥250 mg/dl. Pemeriksaan
penyaringan berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan gula darah puasa terganggu (GDPT). TGT dan GDPT
dapat dikatakan merupakan tahapan sementara menuju DM.
Diagnosis
klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan BB yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien
adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulvae pada wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan
glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM. Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan
sebagai patokan diagnosis DM, karena apabila kadar glukosa darah
sewaktu 110-199 mg/dl dan glukosa darah puasa 110-125 mg/dl belum tentu
pasien tersebut menerita DM walaupun nilai tersebut tidak normal.
Namun, untuk kelompok tanpa keluhan khas DM diperlukan sekali lagi
pemeriksaan untuk mendapatkan angka abnormal yang pasti untuk diagnosis
DM (Sudoyo et.al., 2006).
DM saat ini terbagi menjadi 4 tipe,
yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, Diabetes Kehamilan, dan DM tipe lain.
Namun, secara klinis DM hanya dibagi menjadi 2 tipe: DM tipe 1 dan DM
tipe 2 (Sudoyo et.al., 2006). Gambaran klinis pasien dengan DM tipe 1
adalah usia onset biasanya 40 tahun, dan gangguan disebabkan karena
resistensi jaringan terhadap efek metabolik insulin (Guyton and Hall,
2007).
C. Mekanisme Gejala Klinis DM
Mekanisme
poliuria dan polidipsia berkaitan erat. Tingginya kadar glukosa darah
menyebabkan dehidrasi berat pada sel tubuh akibat tekanan osmotik, yang
menyebabkan cairan dalam sel keluar. Keluarnya glukosa dalam urin akan
menimbulkan keadaan diuresis osmotik. Efek keseluruhannya adalah
kehilangan cairan yang sangat besar dalam urin. Karena itulah kemudian
timbul polidipsia (Guyton and Hall, 2007).
Proses terjadinya
neuropatik diabetik (ND) berawal dari hiperglikemia persisten, yang
menyebabkan aktivitas jalur poliol meningkat, yaitu terjadi aktivasi
enzim aldose-reduktase, yang mengubah glukosa menjadi sorbitol, yang
kemudian dimetabolisasi oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa.
Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf bersifat merusak dengan
mekanisme yang belum jelas. (Sudoyo et.al.., 2006). Fruktosa dan
sorbitol mempunyai kadar diatas normal pada lensa mata penderita DM,
dan dapat terlibat dalam patogenesis katarak diabetika. Fruktosa dan
sorbitol meningkat pada jaringan tubuh yang tidak sensitif terhadap
insulin, seperti lensa mata, saraf tepi, dan glomerulus ginjal seiring
peningkatan kadar glukosa darah (Murray et.al, 2003).
D. Etiologi DM dan Kaitannya Dengan Riwayat Kesehatan
Menurut
etiologinya, DM tipe 1 disebabkan karena adanya gangguan produksi
insulin akibat penyakit autoimun atau idiopatik., yang menyebabkan
pasien mutlak membutuhkan insulin. DM tipe 2 terjadi akibat resistensi
insulin atau gangguan sekresi insulin. Pada tipe 2 ini tidak selalu
dibutuhkan insulin, kadang-kadang cukup dengan diet dan antidiabetik
oral. (Gunawan et.al., 2007).
E. Penatalaksanaan DM
Langkah
pertama dalam pengelolaan DM selalu dimulai dengan pendekatan
non-farmakologis, yaitu berupa terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani,
dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obese.
Bila dengan langkah-langkah tersebut sasarna pengendalian DM belum
tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat berupa obat anti
diabetik (OAD) atau pemberian insulin (Sudoyo et.al., 2006).
Target
dalam terapi gizi medis untuk DM adalah menjaga agar kadar glukosa
darah mendekati normal, dengan menyeimbangkan makanan yang masuk dengan
ketersediaan insulin (endogen atau eksogen), dan agen antidiabetik,
serta mengatur BB agar ideal, mengurangi risiko komplikasi metabolik,
mikrovaskuler, dan aterosklerosis. (Shils et.al., 2006)
BAB III
PEMBAHASAN
Dari
gejala klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium, dapat disimpulkan
bahwa pasien dalam kasus diatas menderita DM tipe 2. Hal ini dapat
diketahui dari gejala polifagia dan poliuria, penurunan berat badan
yang sebabnya kurang jelas, usia onset yang lebih dari 40 tahun, serta
keluhan adanya polineuropati dan mata kabur (retinopati). Hal ini
diperkuat dengan hasil laboratorium yang abnormal. (perbandingan dengan
nilai normal terlampir)
Polifagia terjadi akibat jaringan tubuh
tidak mendapatkan suplai glukosa yang cukup akibat gagalnya insulin
membuka kanal glukosa. Akibatnya, glukosa darah menumpuk, namun tubuh
tetap merasa lapar. Karena glukosa tidak dapat mencukupi kebutuhan
energi jaringan, maka tubuh mengambil energi tersebut dari sumber
energi yang lain, seperti lemak atau protein, sehingga lama kelamaan
pasien menjadi semakin kurus. Selanjutnya, karena ginjal mempunyai
ambang batas tertentu terhadap filtrasi glukosa, maka glukosa ikut
lolos sehingga keluar bersama urin. Karena itu pengujian urin untuk
glukosa reduksi mempunyai hasil posisitif (+++). Untuk menjaga agar
urin tidak terlalu pekat, ginjal mempunyai sistem pengaturan sendiri,
sehingga cairan tubuh ikut keluar bersama urin, dan jaringan tubuh
mengalami dehidrasi. Sebab itu, penderita DM pada umumnya merasa sering
haus (polidipsi). Gejala klinis berupa polineuropati dan retinopati
berkaitan dengan akumulasi fruktosa dan sorbitol. Secara umum,
penumpukan fruktosa dan sorbitol mengganggu kerja sistem saraf, namun
secara khusus keduanya jelas terlibat dalam patogenesis katarak
diabetika. Kadar kreatinin dan hasil uji protein urin yang abnormal
juga menunjukkan salah satu komplikasi DM, yaitu defisiensi kerja
ginjal. Ginjal tidak mampu menyaring protein dengan baik, sehingga
protein ikut terlarut dalam urin. Adanya kalsifikasi pada pankreas
menunjukkan terganggunya fungsi pankreas dalam memproduksi insulin
dalam jumlah normal.
Secara umum menurut referensi yang ada, DM
mempunyai sebab yang belum begitu jelas. Namun, diduga faktor genetik
yang didapat (idiopatik) menempati urutan teratas dalam penyebab DM,
walaupun mekanisme genetika DM belum dapat dipaparkan secara jelas
seperti halnya pada kasus buta warna. Jadi anak laki-laki pasien
tersebut bisa saja menderita DM tipe 1 karena faktor genetik tersebut.
Terapi
DM sebaiknya dimulai dengan terapi non-farmakologis sebagai pilihan
pertama. Apabila belum berhasil, maka dapat dapat dibantu dengan terapi
farmakologis. Terapi non-farmakologis diterapkan melalui terapi gizi
medis, latihan jasmani, dan pengaturan berat badan (BB). Pasien
tersebut mempunyai BMI 18,49 kg/m2, dan hal tersebut mendekati nilai
normal (18,5-25─menurut Depkes RI), sehingga hanya perlu dijaga agar
selalu dalam batas normal. Terapi diet atau gizi medis juga harus
disesuaikan dengan kebutuhan kalori pasien, harus dijaga agar tidak
terlalu tinggi atau tidak terlalu rendah. Karena itu, setelah menghitung
kebutuhan kalori, pasien diberikan diet DM 1700 kalori. Untuk terapi
farmakologis, berupa obat antidiabetik dan insulin, diberikan sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi pasien. Pada umumnya, untuk pasien DM tipe 2
yang tidak tergantung pada insulin untuk hidup, dapat diberikan OAD.
Namun, pertimbangan lain yang biasanya diambil oleh para dokter untuk
menjaga pankreas bekerja normal tanpa “dipaksa” untuk memproduksi
insulin dapat menjadi pilihan terapi lain, yaitu dengan memberikan
insulin eksogen. OAD pun terdiri dari beberapa jenis, yaitu
sulfonilurea, meglitinid, biguanid, tiazolidinedion, dan penghambat
enzim α-glikosidase. Pemilihan OAD ini sangat tergantung pada kondisi
pasien serta komplikasinya. Misalnya, pasien yang underweight,
atau sedang hamil tidak boleh menggunakan OAD, tetapi harus diganti
dengan insulin. Metformin dari golongan biguanid, misalnya, walaupun
terbukti cukup aman, tidak dapat digunakan untuk terapi pada pasien
dengan defisiensi fungsi ginjal seperti pada kasus.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Berdasarkan perbandingan dengan nilai normal laboratorium dan gejala klinis, dapat disimpulkan pasien menderita DM tipe 2.
- Hiperglikemia (>200 mg/dl) ditambah dengan gejala khas (poliuria, polifagia, polidipsia, polineuropati, retinopati) DM dapat menjadi dasar diagnosis DM. Selain itu diperkuat dengan hiperkolesterolemia dan glukosuria.
- Poliuria terjadi karena diuretik osmotik dari urin yang mengandung glukosa berlebih. Polineuropati dan retinopati terjadi akibat akumulasi fruktosa dan sorbitol sebagai salah satu efek dari hiperglikemia persisten. Sedangkan BB pasien berkurang karena lemak dalam jaringan adiposa digunakan untuk menggantikan glukosa sebagai sumber energi yang tidak dapat masuk ke reseptor akibat resistensi insulin.
- Hubungan genetika DM belum ditemukan dengan jelas, namun seluruh referensi yang penulis dapatkan merujuk pada adanya kaitan DM dengan genetika.
- Penatalaksanaan pasien DM tipe 2 harus memperhatikan kondisi dan kesehatan serta komplikasi pasien, agar dapat ditemukan terapi yang tepat untuk pasien. Diutamakan terapi non-farmakologis dahulu, apabila hasilnya kurang baik maka dapat dibantu dengan terapi farmakologis.
B. Saran
- Sebaiknya pasien meningkatkan sedikit berat badannya (BMI pasien 18,49 kg/m2, sedangkan BMI yang normal menurut Depkes RI adalah 18,5-25 kg/m2) agar masuk kategori nilai normal, dengan demikian tidak berisiko bila diberikan OAD.
- Poin terpenting dalam penatalaksanaan penderita DM adalah menjaga agar kadar glukosa darah pasien tetap berada di dalam atau mendekati angka normal, dengan demikian menjauhi risiko timbulnya komplikasi.
- OAD yang diberikan pada pasien sebaiknya tidak mempunyai kontra indikasi untuk kelainan fungsi ginjal.
- Latihan jasmani yang dilakukan juga harus sesuai dengan kondisi pasien, tidak boleh terlalu melelahkan.
- Sebaiknya pasien dan keluarganya diberi edukasi untuk tetap menjaga kesehatan pasien, dengan pola hidup sehat dan patuh terhadap anjuran dokter.
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.
Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Elysabeth. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Murray, Robert K. Granner, Daryl K. Mayes, Peter A. Rodwell, Victor W. 2003. Harper’s Illustrated Biochemistry, Twenty-Sixth Edition. New York: Mc. Graw Hill.
Shils, Maurice E. Shike, Moshe. Ross, A Catharine. Caballero, Benjamin. Cousins, Robert J. 2006. Modern Nutrition in Health and Disease, 10th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.
Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Lampiran I
Hasil Pemeriksaan dan Perbandingan Dengan Nilai Normal
I. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah
Jenis
Hasil Laboratorium
Normal
Gula darah puasa
256 mg/dl
70-110 mg/dl
Kolesterol total
250 mg/dl
15-220 mg/dl
Kreatinin
2,0 mg/dl
0,7-1,5 mg/dl
Sumber : Murray et.al., 2003
II. Hasil pemeriksaan Urin
Jenis
Hasil Laboratorium
Normal
Protein
+++ (0,2-0,5 %)
-
Glukosa Reduksi
+++ ( 2-3,5 % )
0,15-1,5 gr/hari
Sumber : Murray et.al, 2003
LAMPIRAN II
Diagnosis Banding Poliuria
Selain Diabetes Insipidus, poliuria juga dapat menjadi penunjuk penyakit seperti di bawah ini:
- Polidipsi psikogenik
- Obat-obatan yang menyebabkan mulut kering dan merangsang masukan air (antipsikotik, antikolinergik)
- Nefropati air garam
- Diabetes mellitus tak terkontrol
- Diuresis pasca obstruksi
- Diuresis osmotik-makanan tinggi protein
- Diuresis pasca operasi karena dehidrasi intraoperatif
- Obat-obatan (manitol, steroid)
- Radiokontras
- Pasca resusitasi-diuresis dalam jumlah banyak akibat dari cairan yang diberikan
(Sudoyo et.al, 2006)
PKM LAANTULA JAYA SUL-TENG |
Comments
Post a Comment